Rabu, 08 Mei 2013

Kasus Pelanggaran Kode Etik psikologi dan Penjelasan Pasal2nya (Tugas Mata Kuliah)


KASUS PELANGGARAN KODE ETIK PSIKOLOGI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kode Etik Psikologi
Dosen Pengampu :  Isabella Hasiana, S.Psi., M.Psi, Psi




Oleh 
Siti Maghfirah
NIM : 100541100068

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
TAHUN 2013

1.    Contoh Kasus Pelanggaran Kode Etik Psikologi Ke-1
a.    Kasus
     S seorang Psikolog, membuka praktik psikologi dengan memasang plang di depan rumahnya. Ia melakukan beberapa praktik antara lain mendiagnosis, memberikan konseling dan psikoterapi terhadap kliennya. Namun ketika memberikan hasil diagnosis, ia justru menggunakan istilah-istilah psikologi yang tidak mudah dimengerti oleh kliennya, sehingga sering terjadi salah paham terhadap beberapa klien tersebut.
Hal lain sering pula terjadi saat ia memberikan prognosis kepada klien, seperti menganalisis gangguan syaraf yang seharusnya ditangani oleh seorang dokter. Ia juga sering menceritakan masalah yang dialami klien sebelumnya kepada klien barunya dengan menyebutkan namanya saat memberikan konseling.
Psikolog S terkadang juga menolak dalam memberikan jasa dengan alasan honor yang diterima lebih kecil dari biasanya. 
Di lain waktu, ada sebuah perusahaan membutuhkan karyawan baru untuk di tempatkan pada staf-staf tertentu dalam perusahaan. Pimpinan perusahaan tersebut kemudian memakai jasa Psikolog S untuk memberikan psikotes pada calon karyawan yang berkompeten dalam bidangnya. Namun, ketika memberikan psikotes tersebut,  ia bertemu dengan R saudaranya dan meminta agar Psikolog S memberikan hasil psikotes yang baik supaya R dapat diterima dalam perusahaan tersebut. Karena merasa tidak enak dengan saudaranya itu, akhirnya Psikolog S itu memberikan hasil psikotes yang memenuhi standart seleksi penerimaan calon karyawan, hingga R tersebut kemudian diterima dalam perusahaan tersebut dengan menduduki staf tertinggi.
Lama-kelamaan, perusahaan tersebut ternyata sering kecewa terhadap cara kerja R karena dianggap tidak berkompeten dalam bidangnya. hingga akhirnya Pimpinan perusahaan menyelidiki cara pemberian jasa Psikolog S, namun alangkah terkejutnya pimpinan tersebut ketika mengetahui bahwa Pendirian Praktik Psikolog S ternyata belum tercatat pada HIMPSI dan Psikolog S tersebut sama sekali belum pernah menjadi anggota HIMPSI.

a.    Analisa
     Sebagai seorang Psikolog yang semestinya memberikan penjelasan yang sejelas-sejelasnya terhadap klien,  namun kenyataanya S telah membuat klien bingung dan salah paham. Hal itu bisa jadi berakibat fatal terhadap klien terutama nanti yang berhubungan dengan kondisi psikis klien. Tindakannya juga terkesan menyepelekan klien dengan ketidak-mengertiannya, mungkin saja klien tersebut  termasuk golongan awam yang kurang begitu paham dengan istilah psiklogi dan berakibat kesalahpahaman antara S dan klien tersebut. Mestinya, ia menggunakan kata dan istilah yang sekiranya dapat dimengerti oleh klien agar tidak menimbulkan kesalahpahaman terutama yang berhubungan dengan hasil asesmen.
Selain itu ia telah memberikan sebuah diagnosa yang bukan di ranah psikolog yaitu analisa gangguan saraf yang semestinya dianalisa oleh dokter spesialis saraf. Mestinya ia tidak melakukan hal itu karena gangguan saraf memang bukan di ranahnya psikolog, bisa jadi ia nanti akan memberikan hasil analisa yang kurang akurat karena bukan bidangnya. Bisa juga ia termasuk memerehkan dan melecehkan profesi dokter.
     Tindakan pelanggaran kode etik tidak hanya itu yang ia lakukan, ia juga tidak menjaga rahasia klien yang semestinya ia simpan dan tidak diumbar-umbar pada klien lain tanpa kepentingan dan alasan  yang tepat misalnya klien akan berbuat sesuatu yang membahayakan dirinya dan orang maka psiklog boleh menceritakan rahasia atau masalah klien pada keluarganya sebagai antisipasi. Menceritakan masalah klien bisa tergolong boleh kalau hanya menceritakan masalahnya saja sebagai bahan renungan atau ibroh pada klien lain tanpa dibocorkan nama dan identitas lainnya seperti yang telah ia lakukan. Dengan demikian, ia telah melanggar sumpah profesi untuk menjaga rahasia klien.
     Selain itu juga, ia kurang memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi dalam memberikan pelayanan jika horor kurang memuaskan. Mestinya ia mengadakan kesepakatan di awal kontrak layanan dengan klien mengenai honor, berapa horor yang mampu dijangkau oleh klien dengan tanpa merugikan psilokog, sehingga layanan psikologi tetap terlaksana dengan baik dan psikolog tetap dapat menjalankan amanah dalam memberikan pelayanan pada masyarakat yang membutuhkan.
     Ia juga kurang objektif dalam memberikan pelayanan psikologi (masih membedakan antara saudara dan orang lain / memberikan penilain dan hasil asesmen yang baik kepada saudara sendiri), sehingga dapat berakibat buruk bagi perusahan yang menerima saudaranya bekerja,  dan yang paling parah yaitu ia ternyata masih belum mengantongi ijin praktik psikologi dari HIMPSI sehingga ia bisa disebut sebagai psikolog gadungan.  
b.    Pelanggaran Kode Etik
1.    Bab I pedoman umum
-    Pasal 1 ayat 3 (psikolog wajib memliki ijin praktek).
-    Pasal 2 Prinsip A (penghormatan pada harkat martabat manusia) ayat 1, 2, 3, 4. Prinsip B (integritas dan sikap ilmiah) ayat 2, 3. Prinsip C (profesional) ayat 1, 2, 3, 6. Prinsip E (manfaat) ayat 1, 2, 3 
2.    Bab III kompetensi
-    Pasal 7 (ruang lingkup kompetensi) ayat 2
3.    Bab IV hubungan antar manusia
-    Pasal 13 (sikap profesional).
-    Pasal 14 ayat 2 (pelecehan lain).
-    Pasal 15 (penghindaran dampak buruk)
4.    Bab V kerahasiaan
-    Pasal 24 (mempertahankan kerahasiaan data).
-    Pasal 26 (pengungkapan kerahasiaan data) ayat 1
5.    Bab XI asesmen
-    Pasal 65 (interpretasi hasil asesmen).
-    Pasal 66 (penyampaian data hasil asesmen) ayat 3

2.    Contoh Kasus Pelanggaran Kode Etik Psikologi Ke-2
a.    Kasus
     Sebut saja namanya bapak L, ia lulusan S2 magister sains dalam bidang psikologi. Setelah beberapa bulan dari kelulusannya ia direkrut menjadi dosen di sebuah Sekolah Tinggi di salah satu lembaga pendidikan di tempat tinggalnya. Satu hari ia diminta oleh pihak pengelola SMA swasta di daerahnya untuk melakukan tes psikologi yang bertujuan untuk melihat kemampuan minat dan bakat penjurusan kelas III (IPA, IPS dan Bahasa).
     Masyarakat setempat terutama pihak sekolah SMA tersebut selama ini memang tidak mengetahui secara pasti mengenai program study yang ditempuh L apakah ia mengambil magister profesi atau magister sains begitu juga dengan perbedaan ranah keduanya, mereka hanya mengetahui kalau L sudah menempuh pendidikan tinggi S2 psikologi.
     Mendapat tawaran untuk melakukan pengetesan semacam itu, tanpa pkir panjang L langsung menerima dan melakukan tes psikologi serta mengumumkan hasil tes kepada pihak sekolah tentang siapa saja siswa yang bisa masuk di kelas IPA, IPS dan bahasa.
     L melakukan tes psikologi tersebut ternyata tidak sendirian, ia bekerja sama dengan M (pr) yang memang seorang psikolog. Mereka berteman akrab sejak seperguruan waktu dulu mereka menempuh S2 hanya saja M adalah adik tingkat L dan dulu sempat terjalin hubungan dekat antara keduanya sehingga M merasa sungkan jika menolak kerj sama dengan L. Anehnya M menerima ajakan kerja sama L dengan senang hati dan tidak mempermasalahkan apapun yang berhubungan ranah psikologi yang semestinya meskipun pada sebenarnya ia sendiri sudah paham bahwa L tidak boleh melakukan hal tersebut. Antara keduanya memang terjalin kerja sama akan tetapi yang memegang peranan utama dalam tes psikologi tersebut adalah L, sedangkan M sebagai psikolog sendiri hanya sebatas pendamping L mulai dari pemberian tes sampai pada penyampaian data dan hasil asesmen.

b.    Analisa
     Tindakan L sudah jelas menyalahi kode etik psikologi, karena ia sebagai Magister Sains (Ilmuwan Psikologi) bukan sebagai Magister Psikologi (Psikolog), tugasnya hanya sebatas pengadministrasian asesmen bukan sebagai penyelenggara asesmen seperti dalam kasus di atas yang mana ia telah melakukan tes psikologi dengan menggunakan alat tes dan memberikan hasil asesmen meskipun hasil kerja sama dengan Psikolog, sehingga tindakan keduanya (L & M)  tersebut merupakan penyalahgunaan di bidang psikologi terutama bagi L sendiri.
     Semestinya L memberitahu pada pihak sekolah tentang batasan kompetensinya dan memberi pemahaman bahwa ia tidak berwenang melakukan tes psikolgi dan ia bisa juga langsung mengalihkan tawaran tersebut kepada teman akrabnya yaitu Psikolog M.
     Semestinya juga sebagai seorang yang profesional dalam psikologi, M bisa memberikan pengarahan dan pengertian pada L kalau sebetulnya ia tidak boleh melakukan tes psikologi tapi karena M merasa sungka pada L sehingga ia hanya bisa menerima ajakan L untuk membantu dan membiarkan ia tetap melaksanakan tes psikologi sampai selesai penyampaian data asesmen.

c.    Pelanggaran Kode Etik
1.    Bab I pedoman umum
-    Pasal 1 ayat 4, 5.
-    Pasal 2 (prinsip C : profesional) l ayat 1, 2, 3, 4
2.    Bab II mengatasi isu etika
-    Pasal 4 penyalahgunaan di bidang psikologi ayat 2
3.    Bab III kompetensi
-    Pasal 7 ruang lingkup kompetensi ayat 1, 2
4.    Bab IV hubungna antar manusia
-    Pasal 13 tentang sikap profesional.
-    Pasal 14 ayat 2 tenang pelecehan lain (L telah meremehkan profesi M sebagai Psikolog).
-    Pasal 19 hubungan profesional ayat 2 (hubungan dengan profesi lain).
-    Pasal 22 ayat 1 tentang pengalihan layanan kepada sejawat lain jika ada keterbatasan kompetensi
5.    Bab XI asesmen
-    Pasal 62 dasar asesmen ayat 1, 2.
-    Pasal 63 penggunaan asesmen ayat 2 (kewenangan Psikolog dalam menyampaikan hasil asesmen)

3.    Contoh Kasus Pelanggaran Kode Etik Psikologi Ke-3
a.    Kasus
     JW bekerja sebagai Psikolog yang membantu biro psikologi yang mendapatkan proyek kerja sama untuk melakukan psikotes di berbagai perusahaan atau lembaga pendidikan. Salah satu kakak angkatannya yang bernama IS memiliki biro psikologi yang masih berbentuk CV, dan mendapatkan proyek dari perusahaan tertentu untuk melakukan psikotes dalam bentul massal. Ia meminta JW untuk membantunya, dan JW menerimanya berdasarkan sistem kepercayaan, tanpa menandatangani surat kontrak perjanjian seperti kebiasaan yang terjadi saat itu.
     Namun, setelah beberapa lama JW tidak mendapatkan honor yang dijanjikan meskipun telah berusaha menagih honornya pada IS dan bahkan juga menghubungi staf HR di perusahaan tersebut, yang juga adik kelasnya, untuk mencari kepastian, meskipun pihak perusahaan telah membayar penuh pada IS, honor JW tak kunjung dibayar oleh IS, bahkan JW merasa IS menghindari dirinya dan seolah-olah menghilang di telan bumi. Dalam salah satu diskusi tentang kode etik di milis psikologi, JW kemudian mengemukakan kasusnya dengan menyebutkan nama lengkap IS dan perusahaan IS tanpa menyamarkannya untuk mencari solusi.
     JW tidak berani membuat laporan resmi kepada pihak Majelis Psikologi maupun aparat hukum karena posisinya lemah, dengan tidak adanya surat kontrak tertulis.
b.    Analisa
     Tindakan IS dalam kasus di atas sudah jelas sangat tidak menghargai kerja keras JW,  padahal JW sudah berusaha membantunya untuk melakukan psikotes. Honor yang dijanjikan IS hanya tinggal janji, meskipun JW telah menagihnya tapi tetap saja ia tidak mendapatkan hak yag memang semestinya ia dapatkan, kecuali jika pada awal pelaksaan psikotes IS memang tidak menjanjikan apapun pada JW. Namun, meskipun demikian sebagai sesama profesi yaitu Psikolog IS memang sudah semestinya untuk membagi honor pada JW yang sudah diatur sebelumnya.  
     Dikarenakan JW hanya berdasar kepercayaan semata hingga ia tidak memikirkan penandatanganan kontrak terhadap IS, maka masalah pembagian honor yang biasanya tercantum di dalam kontrak yang seharusnya mereka sepakati sebelumnya ternyata tidak dibuat dan antara mereka tidak terjadi tanda tangan hitam di atas putih, sehingga JW tidak bisa melaporkan tindakan IS pada Majelis Psikologi untuk dijadikan bukti hukum yang kuat. Dalam hal ini JW juga menyalangi kode etik psikologi karena telah mengabaikan kontrak perjanjian sebagai bukti persetujuan bahwa ia telah menerima kerja sama dengan IS untuk melakukan psikotes.

c.    Pelanggaran Kode Etik
1.    Bab I pedoman umum
-    Pasal 2 prinsip A (penghormatan pada harkat dan martabat manusia) ayat 1, 2, 3, 4
-    Pasal 2 prinsip C (profesional) ayat 3 tentang menjunjung tinggi kode etik, peran, dan kewajiban profsional
-    Pasal 2 prinsip E (manfaat) ayat 1 (Psikolog berusaha memaksimalkan memberikan manfaat pada kesejahteraan umat manusia, perlindungan hak pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak lain yang terkait)
2.    Bab IV hubungan antar manusia
-    Pasal 14 pelecehan ayat 2 tentang pelecehan lain
-    Pasal 19 hubungan profesional ayat 1 tentang hubungan antar profesi
-    Pasal 20 informed consent
3.    Bab VIII biaya layanan psikologi
-    Pasal 34 rujukan dan biaya (Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi membagi imbalan, pembayaran)