Sabtu, 12 Mei 2012

Analisa film dengan menggunakan diagnosis multiaksial


Tugas Mata Kuliah Psikologi Klinis
“Analisa Film Gangguan Jiwa Berdasarkan Buku PPDGJ
Dengan Menggunakan Diagnosa Multiaksial”
Nama                          : Siti Mahgfirah
Prodi                           : Psikologi
Semester/kelas           : IV/A
Dosen                          : dr. Siti Nurfitria, S.Ked


Judul Film      : Sweet Memory
Gendre           : Korea
Gangguan      : Demensia pada alzeimer onset dini
Penyebab       : Genetik
Aksis I :
-          Gangguan klinis
-          Kondisi lain yang menjadi fokus  perhatian klinis
Nomor kode diagnosis
Nama diagnosis menurut PPDGJ III
Keterangan
F00.0
Demensia pada penyakit Alzheimer onset dini
-       Penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir yang sampai mengganggu kegiatan harian
-       Onsetnya belum usia 63 tahun (penderita berusia 27 tahun)
-       Ada riwayat keluarga yang berpenyakit Alzheimer (kakeknya)
F32.0
Episode depresi ringan
Sebelum bersuami , penderita pernah hendak kabur bersama suami orang, namun laki-laki tersebut tidak datang pada waktu yang telah disepakati sehingga penderita mengalami kesedihan mendalam
Z63.0
Masalah yang berhubungan dengan pasangan
Sejak penderita divonis oleh psikiater mennderita alzheimer, dia sampai minta cerai sama suaminya karena ingatannya mulai menghilang

Aksis II :
-          Gangguan kepribadian
-          Retardasi mental
Nomor kode diagnosis
Nama diagnosis menurut PPDGJ III
Keterangan
F60.6
Gangguan cemas (menghindar)
Penderita merasa  takut dan tegang setelah mengetahui dirinya menderita alzheimer sehingga dia selalu menghindar dari suaminya dan pekerjaanya karena dia merasa tidak mampu dan rendah

Aksis III :
-          Kondisi medik umum
Nomor kode diagnosis
Nama diagnosis menurut PPDGJ III
Keterangan

Tidak ada


Aksis IV :
-          Masalah psikososial dan lingkungan
Nomor kode diagnosis
Nama diagnosis menurut PPDGJ III
Keterangan

Tidak ada


Aksis V :
Skala penilaian fungsi secara global

Nilai

Keterangan

55
-       Gejala berat (serius), distabilitas berat
-    Penderita mengalami gangguan beberapa waktu setelah menikah sehingga dia lupa (pikun) pada suaminya namun karena kesabaran suami dalam merawatnya, dia dibawa pulang dari rumah sakit jiwa dan dibawa ke tempat pertama kali ketemu dan akhirnya ingatan penderita dapat normal kembali


Review jurnal konseling emotif rasional


REVIEW JURNAL
“Efektifitas Konseling Rasional Emotif Dengan Teknik Relaksasi untuk Membantu Siswa Mengatasi Kecemasan Menghadapi Ujian”
Oleh : Esty Rokhyani

A.    Pembukaan (Latar belakang)
            Ujian atau tes merupakan kegiatan akademik. Sedangkan kecemasan yang sering dialami oleh siswa di sekolah, salah satunya kecemasan dalam menghadapi ujian atau tes. Kecemasan dapat menggangu kinerja akademis dan penampilan siswa dalam menghadapi ujian. Keadaan tertekan dan panik akan menurunkan hasil-hasil belajar. Selain itu kecemasan siswa yang terlalu tinggi dalam menghadapi ujian atau tes justru akan menurunkan kinerja otak siswa dalam belajar.
            Penelitian dalan jurnal terlapir merupakan fakta di lapangan yang mengupas banyaknya siswa SMPN 5 Nganjuk yang mengalami kecemasan menghadapi ujian atau tes.
            Dari fenomena tersebut maka peneliti ingin mengetahui keefektifan pelaksanaan konseling rasional emotif dengan teknik relaksasi dalam membantu siswa mengatasi kecemasan menghadapi ujian.

B.     Pembahasan
            Konseling dengan pendekatan rasional emotif merupakan suatu pendekatan terapi yang memfokuskan kepada upaya untuk mengubah pola berfikir klien yang irasional sehingga dapat mengurangi gangguan emosi atau perilaku yang maladaptif.
            Seiring dengan berkembangkan pengetahuan, konseling dengan pendekatan rasional emotif dimasukkan juga teori belajar (Conditioning) dan berupaya menerapkannya agar klien secara langsung bisa mengubah prilakunya sendiri (deconditioning), sehingga konseling dengan pendekatan rasional emotif banyak memakai teknik-teknik behavioral seperti ; relaksasi, didaktif, reedukasi, berkhayal, konfrontasi.  
            Adapun Tujuan utama konseling rasional emotif adalah sebagi berikut :
·         Memperbaiki dan mengubah sikap, persepsi, cara berfikir, keyakinan dan pandangan-pandangan yang irasional dan ilogis menjadi rasional dan logis agar klien dapat mengembangkan diri, meningkatkan aktualisasinya seoptimal mungkin melalui perilaku kognitif dan efektif yang positif.
·         Menghilangkan gangguan-gangguan emosional yang merusak diri sendiri, seperti: Rasa benci, rasa takut, rasa bersalah, rasa berdosa, rasa cemas, was-was, dan marah sebagai konsekuensi keyakinan yang keliru dengan jalan mengajar dan melatih klien untuk menghadapi hidup secara nasional dan membangkitkan kepercayaan, serta nilai-nilai kemampuan diri sendiri.
            Teknik yang digunakan dalam terapi ini yaitu relaksasi. Menurut pandangan ilmiah , relaksasi merupakan perpanjangan serabut otot skeletal , sedangkan ketegangan merupakan kontraksi terhadap perpindahan serabut. Peranan dari teknik relaksasi itu sendiri adalah untuk membantu klien menurunkan getaran-getaran fisiologis dan untuk menimbulkan suatu perasaan yang positif dan netral.
            Adapun tahap teknik  relaksasi dalam terapi emotif rasional ini sebagi berikut :
·         Rasional
Konselor mengemukakan tujuan prosedur singkat pelaksanaan relaksasi, serta konfirmasi tentang kesediaan / kesungguhan klien menggunakan strategi ini.
·         Instruksi tentang pemakaian
Sebelum latihan sebenarnya, klien hendaknya diberi petunjuk baju yang layak untuk direlaksasi
·         Menciptakan lingkungan yang nyaman
            Lingkungan latihan hendaknya tenang dan bebas dari suara yang mengganggu seperti berderingnya telepon, suara TV, radio maupun lalu- lalangnya anak-anak.Konselor memberi contoh latihan relaksasi.
·         Konselor memberi contoh latihan relaksasi
            Konselor hendaknya memberi contoh secara singkat beberapa latihan otot yang akan dipakai dalam relaksasi.
·         Instruksi-instruksi / penyajian untuk relaksasi otot
            Suara konselor hendaknya berbentuk kecakapan, bukan dramatisasi.
·         Penilaian setelah latihan
            Konselor menanyakan klien tentang sesion pertama latihan relaksasi, dengan mendiskusikan masalah-masalah jika selama latihan klien mengalaminya.
·         Tindak lanjut (follow up)
            Konselor menugaskan pekerjaan rumah dan meminta klien untuk mengisi buku penilaian terhadap pelatihan relaksasi di rumah itu.
            Sampel yang diambil sebanyak 24 siswa yang terdiri dari 10 siswa kelas VIII (5 pria dan 5 wanita) dan 14 siswa kelas VII (8 pria dan 6 wanita). Selanjutnya subyek penelitian sebanyak 24 siswa dibagi menjadi 2 kelompok masing-masing 12 siswa. Untuk mengukur kategori kecemasan menghadapi ujian atau tes digunakan inventori kecemasan menghadapi ujian atau tes, dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa subyek penelitian dalam kelompok perlakuan mengalami penurunan skor kecemasan menghadapi ujian atau tes cukup signifikan seperti yang telah tertera di dalam tabel jurnal.
C.      Penutup (Kesimpulan)
Dari pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa :
            Ada perbedaan tingkat kecemasan menghadapi ujian atau tes secara sangat signifikan pada kelompok subyek perlakuan sebelum dan sesudah diberikan konseling rasional emotif dengan teknik relaksasi.
·         Konseling rasional emotif dengan teknik relaksasi sangat efektif untuk membantu menangani kecemasan menghadapi ujian atau tes.










Kamis, 10 Mei 2012

Makalah Gangguan Kepribadian


1.      Pengertian gangguan kepribadian
            Gangguan kepribadian atau dikenal dengan personality disorder adalah gangguan dalam perilaku yang memberikan dampak atau dinilai negatif oleh masyarakat. Gangguan kepribadian pada umumnya ditandai oleh masalah-masalah dimana individu secara tipikal mengalami kesukaran dalam melaksanakan kehidupan dengan orang lain sebagaimana yang ia kehendaki. Orang yang mengalami gangguan kepribadian ini melihat orang lain sebagai hal yang membingungkan, tidak jelas dan tidak dapat diduga. Dan begitu pula sebaliknya, ia akan melakukan tindakan sosial secara membingungkan. (Sutarjo A. Wiramiharja : 2007)
            Adapaun definisi gangguan kepribadian yang ada dalam DSM IV seperti yang telah dijelaskan oleh Sutarjo A. Wiramiharja dalam salah satu bukunya adalah “sifat-sifat dalam kepribadian yang merupakan pola-pola berkelanjutan dalam hal mempersepsi, menanggapi, berelasi, atau berpikir mengenai lingkungan dan dirinya sendiri sehingga ditampilkan dalam rentang yang luas mengenai konteks-konteks pribadi dan sosial yang penting.

2.      Ciri-ciri gangguan kepribadian
            Penderita gangguan ini memiliki ciri-ciri (Supratiknya : 1995) sebagai berikut :
2.1   Hubungan pribadinya dengan orang lain terganggu, dalam arti sikap dan perilakunya cenderung merugikan orang lain.
2.2   Memandang bahwa semua kesulitannya disebabkan oleh nasib buruk    atau perbuatan jahat orang lain. Dengan kata lain, penderita gangguan ini tidak memiliki rasa bersalah.
2.3  Tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap orang lain
2.4  Bersikap manipulatif atau senang mengakali, mementingkan diri, tidak punya rasa bersalah dan tidak mengenal rasa sesal bila mencelakakan orang lain.
2.5  Celakanya, orang ini tidak pernah dapat melepaskan diri dari pola tingkah lakunya yang maladaptif  itu.
2.6  Selalu menghindari tanggung jawab atas masalah-masalah yang mereka timbulkan.
           
            Fitria Fauziyah menjelaskan dalam salah satu bukunya bahwa, individu dikatakan mengalami gangguan kepribadian jika ciri kepribadiannya menampakkan pola perilaku maladaptif dan telah berlangsung dalam jangka waktu yang relatif lama. Pola tersebut muncul dalam setiap situasi serta mengganggu fungsi kehidupannya sehari-hari seperti dalam relasi sosial dan pekerjaan.
            Adapun yang tercantum di dalam PPDGJ bahwa seseorang yang didiagnosa gangguan kepribadian harus memenuhi kriteria dari bebarapa pedoman diagnostik sebagai berikut :
2.1  Disharmoni sikap dan perilaku yang cukup berat, biasanya meliputi beberapa bidang fungsi misalnya afek, kesiagaan, pengendalian impuls, cara memandang dan berpikir, serta cara berinteraksi dengan orang lain.
2.2  Pola perilaku abnormal berlangsung lama, dan tidak terbatas pada episode gangguan jiwa.
2.3  Pola perilaku abnormalnya pervasif (mendalam) dan maladaptif  yang jelas terhadap berbagai keadaan pribadi dan sosial yanag luas.
2.4  Manifestasi di atas selalu muncul pada masa kanak-kanak atau remaja dan berlanjut hinggga usia dewasa.
2.5  Gangguan ini menyebabkan penderitaan pribadi (personal distress) yang cukup berarti,  tetapi baru menjadi nyata setelah perjalanan yang berlanjut.
2.6  Gangguan ini biasanya “tapi tidak selalu” berkaiatan secara bermakna dengan masalah-masalah pekerjaan dan kinerja sosial.

3        Jenis-jenis  gangguan kepribadian
            Berdasarkan DSM IV gangguan kepribadian dibagi ke dalam 3 kelompok besar yaitu kelompok I terdiri dari paranoid-skizoid-skizotipal. Kelompok II terdiri dari histrionic-narcisistik-antisosial. Kelompok III terdiri dari avoidan-dependent-kompulsif-agresif  pasif. (disadur dari Fitria Fauziyah, 1995). Ada juga yang menambahkan satu gangguan kepribadian di dalam  kelompok II yaitu borderline sehingga di dalamnya terdapat empat macam gangguan. (Sutardjo A.Wiramihardja, 2007)

3.1  Paranoid
            Adapaun ciri-ciri gangguan ini berdasarkan PPDGJ sebagai berikut :
3.1.1        Kepekaan berlebihan terhadap kegagalan dan penolakan
3.1.2        Kecendrungan  menyimpan dendam (sulit memaafkan suatu penghinaan dan luka hati atau masalah kecil)
3.1.3        Kecurigaan yang mendalam
3.1.4        Perasaan bermusuhan dan ngotot tentang hak pribadi tanpa memperhatikan situasi yang ada
3.1.5        Kecurigaan yang berulang tanpa dasar tentang kesetiaaan seksual dari pasangannya
3.1.6        Kecenderungan untuk merasa dirinya penting secara berlebihan
            Untuk diagnosis dibutuhkan paling sedikit 3 dari ciri-ciri di atas. (Rusdi Maslim, 2001)
            Gangguan kepribadian ini dapat disebabkan oleh pengalaman masa kecil yang buruk ditambah dengan keadaan lingkungan yang dirasa mengancam. Pola asuh dari orang tua yang cenderung tidak menumbuhkan rasa percaya antara anak dengan orang lain juga dapat menjadi penyebab dari berkembangnya gangguan ini.
            Bagi beberapa orang yang mengalami gangguan ini, rasa permusuhan mereka terhadap orang lain mungkin berasal dari adanya penghargaan diri yang berlebihan, sedangkan pada yang lainnya mungkin hal itu berasal  dari konsep diri yang lemah atau kurang dan harapan bahwa orang lain akan mengkritisi dan menyalahkan mereka atas berbagai masalah. Sikap ini dapat tumbuh pada anak-anak yang memiliki orang tua yang kasar, suka mengkritik, dan tidak mentoleransi berbagai kelemahan, tetapi juga pada orang tua yang terlalu menekankan pada anak-anak mereka bahwa  mereka spesial dan berbeda dengan orag lain. (Sutardjo A.Wiramihardja, 2007 yang disadur dari  Millon dkk, 2000)
            Ahli teori kognitif melihat gangguan paranoid sebagai  hasil dari sebuah keyakinan yang mendasar bahwa orang lain sebagai orang yang berhati dengki dan memperdaya, dikombinasikan dengan kurangnya rasa percaya diri dalam mempertahankan diri menghadapi orang lain. (Sutardjo A.Wiramihardja, 2007 yang disadur dari  Beck & Freeman, 1990; Colby, 1981)
            Adapun pengobatannya, bila diminta bantuan maka dalam bimbingan dititik beratkan pada pengalaman subjektif dalam pribadinya dan pada interaksi dengan dokter. (Maramis, 1980)

3.2  Skizoid
            Adapaun ciri-ciri gangguan ini (Rusdi Maslim, 2001) sebagai berikut :
3.2.1        Sedikit aktivitas yang memberikan kesenangan
3.2.2        Emosi dingin, afek mendatar atau tak peduli
3.2.3        Kurang mampu mengekspresikan kehangatan, kelembutan atau kemarahan terhadap orang lain
3.2.4        Tampak nyata ketidakpedulian baik terdapat pujian maupun kecaman
3.2.5        Hampir memilih aktivitas yang dilakukan sendiri
3.2.6        Sangat tidak sensitif terhadap norma dan kebiasaan sosial yag berlaku
3.2.7        Tidak mempunyai teman dekat atau hubungan pribadi yang akrab, dan tidak ada keinginan untuk menjalin hubungan seperti itu
            Untuk diagnosis dibutuhkan paling sedikit 3 dari ciri-ciri di atas. (Rusdi Maslim, 2001)
            Para ahli teori psikoanalisa berpendapat bahwa gangguan skozoid dibangun melalui hubungan ibu dan anak yang terganggu, dimana anak tidak pernah belajar memberi dan menerima kasih sayang, anak tersebut menunjukkan hubungan dan emosi-emosi sebagai hal yang berbahaya. (Sutardjo A. Wiramihardja, 2007 yang disadur dari  Blueler, 1942; Klein, 1952)
            Sedangkan para ahli teori kognitif menggambarkan gaya berpikir dari orag skizoid sebagai orang yang tidak memperbaiki diri dan tidak responsif terhadap tanda-tanda yang menunjukkan emosi. (Sutardjo A.Wiramihardja, 2007 yang disadur dari Beck & Freeman, 1990)
            Pengobatan gangguan skozoid bisa dengan cara psikoterapi suportif, bimbingan dalam cara hidup, anjuran untuk mengambil bagian dalam kegiatan sosial dan hubungan antar manusia. (Maramis, 1980)


3.3  Skizotipal
Gangguan ini memiliki ciri-ciri khas (Supratiknya, 1995) sebagi berikut :
3.3.1        Suka menyendiri dan menghindari orang lain
3.3.2        Egosentrik
3.3.3        Dihantui oleh pikiran-pikiran autistik yaitu pikiran yang tidak dapat dimengerti oleh orang lain
3.3.4        Amat perasa
3.3.5        Sering bertahayul
            Seperti halnya orang-orang skizoid, orang skizotipal juga cenderung terisolasi secara sosial dan menjaga jarak emosi, sehingga mereka merasa tidak nyaman dalam membangun hubungan sosial. (Sutardjo A.Wiramihardja, 2007)
            Penderita gangguan skizotipal mempunya empat kategori dalam keganjilan berpikir. (Sutardjo A.Wiramihardja, 2007 yang disadur dari Beck & Freeman, 1990). Keempatnya adalah sebagai berikut :
Pertama           : Paranoia (bersifat paranoid dan selalu curiga)
Kedua             : Referensi ide (meyakini bahwa kejadian-kejadian acak yang ada di  sekitarnya berkaitan dengan mereka)
Ketiga             : Keyakinan aneh dan pemikiran magis
Keempat          : Ilusi yang merupakan halusinasi singkat

3.4  Historik
            Adapaun ciri-ciri gangguan ini (Rusdi Maslim, 2001) sebagai berikut :
3.4.1        Ekspresi emosi yang dibuat-buat seperti sandiwara yang dibesar-besarkan
3.4.2        Bersifat sugestif (mudah dipengaruhi oleh orang lain dan keadaan)
3.4.3        Keadaan afktif yang labil dan dangkal
3.4.4        Terus menerus mencari kegairahan, penghargaan dari orang lain dan aktivitas di mana pasien menjadi pusat perhatian
3.4.5        Penampilan atau perilaku merangsang yang tidak memadahi
            Individu dengan gangguan ini biasanya memiliki masalah atau disfungsi seksual, pada kaum wanita biasanya anorganismic (masalah dalam orgasme) dan pada prianya impoten, mereka melakukan tingkah laku seductive (menggairahkan) yang lebih karena ingin meyakini diri sendiri bahwa mereka menarik untuk lawan jenisnya. (Fitria Fauziyah, …)
            Orang dengan gangguan ini lebih menyukai bercerai atau berpisah dari pada menikah. Mereka cenderung membesar-besarkan masalah medis dan lebih banyak melakukan medis dibandingkan dengan orang kebanyakan. Akibatnya, langkah itu menyebabkan semakin meningkatnya jumlah langkah-langkah bunuh diridan mengancam dalam kelompok ini. (Sutardjo A.Wiramihardja, 2007 disadur dari Kraus &r Reynold, 2001; Nestad dkk, 1990)

3.5  Narsistik
Adapaun ciri-ciri gangguan ini (Supratiknya, 1995) sebagai berikut :
3.5.1        Merasa dirinya penting dan haus akan perhatian orang lain
3.5.2        Selalu menuntut  perhatian dan perlakuan istimewa dari orang lain, sehingga mereka sangat sulit dan tidak dapat menerima kritik dari orag lain (Fitria Fauziyah, …)
3.5.3        Sangat peka pada pandangan orang lain terhadap dirinya (harga diri rapuh)
3.5.4        Bersikap eksploitatif (memikirkan kepentingan sendiri, mengabaikan hak dan persaaan orang lain). Ada juga ciri-ciri yang lain (Fitria Fauziyah, …) seperti :
3.5.5        Tidak mampu menampilkan empati, kalaupun mereka memberikan empati atau simpati, biasanya mereka memiliki tujuan tertentu untuk kepentingan diri mereka sendiri
            Dari sudut pandang teori belajar sosial (Sutardjo A.Wiramihardja, 2007 yang disadur dari Millon, 1969) menemukan bahwa asal dari gaya narsistik adalah evaluasi berlebihan yang tidak realistik mengenai nilai-nilai anak oleh orang tua. Anak tidak mampu menggapai evaluasi-evaluasi orang tuanya mengenai dirinya tetapi dia secara berkelanjutan bertindak seolah-olah dia merupakan orang yang superior (berkuasa) dan menuntut orang lain melihat mereka  sebagai orang superior.
            Individu dengan gangguan ini tidak memilki self-esteem yang mantap dan mereka rentan untuk menjadi depresi. (Fitria Fauziyah, …) mereka biasanya tidak dapat menerima kenyataan bahwa usia mereka sudah lanjut, sedangkan mereka tetap menghargai kecantikan, kekuatan, dan usia muda secara tidak wajar. Oleh karena itu, merekaa lebih sulit untuk melewati krisis pada usia senja ketimbang individu lain pada umumnya. Masalah-masalah yang muncul dari gangguan ini misalnya sulit membina hubungan interpersonal, penolakan dari orang lain.

3.6  Antisosial
            Gangguan ini juga disebut kapribadian sosiopatik (Supratiknya, 1995), dan
meliputi misalnya orang-orang yang menjalankan bisnis dengan curang, politikus dan profesi lain yang curang, para pelaku tindakan criminal, pengedar obat bius, penjaja seks komersial.
            Adapaun ciri-ciri gangguan ini (Supratiknya, 1995) sebagai berikut :
3.6.1        Perkembangan moral yang terhambat, sehingga tidak mampu mencontoh perbuatan yang diterima masyarakat. Dan tidak mampu membedakan mana yang pantas baginya dibandingkan dengan orang-orang yang lebih muda darinya (Sutardjo A.Wiramihardja, 2007)
3.6.2        Kurang dapat bergaul dan bersosialisasi sehingga tidak mampu mengembangkan kesetiaan pada kelompok maupun nilai sosial yang berlaku. Ada juga ciri-ciri lain (Rusdi Maslim, 2001) seperti :
3.6.3        Bersikap tidak peduli dengan perasaan orang lain
3.6.4        Tidak mampu memelihara suatu hubungan agar berlangsung lama, meskipun tidak ada kesulitan dalam mengembangkannya
3.6.5        Tidak mampu mengalami rasa bersalah dan menarik manfaat dari pengalaman, khususnya dari hukuman
            Gejala gangguan ini sudah dimulai pada anak-anak yaitu sebelum usia 12-15 tahun (Maramis, 1980). Seorang dewasa yang didiagnosa kepribadian anti sosial biasanya pada masa anak-anak terdapat pencurian, tidak dapat dikoreksi (sangat tidak mematuhi, biasanya terhadap orang tua), bolos sekolah, lari dari rumah sampai bermalam, hubungan sex yang dini dan aktivitas homosexual, dan agresi fisik.
            Karakteristik yang paling menonjol dari gangguan ini adalah tidak adanya pengendalian impuls, orang dengan gangguan ini memiliki tolerasi akan frustrasi yang rendah dan sering bertindak tergesa-gesa tanpa menunjukkan perhatian akan konsekuensi perbuatannya. (Sutardjo A.Wiramihardja, 2007)
            Individu dengan gangguan ini mampu menampilkan tingkah laku yang menawan, kemampuan verbal yang baik, bahkan menarik perhatian lawan jenis dengan perilakunya yang pandai merayu (Fitria Fauziyah, …). Namun di balik tampilan luar yang positif tersebut, apabila terapis menelusuri riwayat kehidupannya, biasanya dipenuhi dengan perilaku berbohong, membolos, mecuri, dan aktivitas ilegal lainnya.

3.7  Avoidan (menghindar)
            Adapaun ciri-ciri gangguan ini (Rusdi Maslim, 2001) sebagai berikut :
3.7.1        Perasaan tegang dan takut yang menetap
3.7.2        Merasa dirinya tak mampu, tidak menarik atau lebih rendah dari orang lain
3.7.3        Preokupasi (kebingunan) yang berlebihan terhadap kritik dan penolakan dalam situasi sosial
3.7.4        Keengganan untuk terlibat dengan orang lain kecuali merasa yakin akan disukai
3.7.5        Pembatasan dalam gaya hidup karena alasan dalam keamanan diri
3.7.6        Menghindari aktivitas sosial karena takut dikritik, ditolak dan tidak didukung. Ada juga ciri-ciri yang lain (Supratiknya, 1995) diantaranya :
3.7.7        Cenderung mudah mempersepsikan olok-olok atau pelecehan yang belum tentu benar
3.7.8        Tidak percaya diri, rendah hati (inferiority complex) sehingga takut  berbicara di depan publik (Fitria Fauziyah, …)
            Individu dengan gangguan ini biasanya memiliki sejarah fobia sosial atau malahan menjadi fobia sosial dalam perjalanan gangguannya. (Fitria Fauziyah, …)
3.8  Dependent
            Adapaun ciri-ciri gangguan ini (Rusdi Maslim, 2001) sebagai berikut :
3.8.1        Membiarkan orang lain mengambil sebagian besar keputusan untuk dirinya
3.8.2        Meletakkan kebutuhan dirinya lebih rendah dari orang lain kepada siapa ia bergatung, dan kepatuhan yang tidak semestinya terhadap keinginan mereka
3.8.3        Keengganan untuk mengajukan permintaan yang layak kepada orang dimana ia bergantung
3.8.4        Perasaaan tidak enak dan tidak berdaya jika sendirian, karena ketakutan yang dibesar-besarkan tentang ketidakmampuan mengurus dirinya sendiri
3.8.5        Terbatasnya kemammpuan untuk membuat keputusan sehari-hari tanpa mendapat nasehat yang berlebihan dan dukungan dari orang lain. Ada juga ciri yang lain (Fitria Fauziyah, …) yaitu :
3.8.6        Cenderung bersikap submisif atau patuh, Merasa tidak nyaman apabila sendirian walaupun dalam jangka waktu yang singkat, Pesimis, merasa takut untuk mengekspresikan dorongan seksual dan agresi
3.8.7        Kurang percaya diri dan merasa tidak berdaya, kendati sesungguhnya tidak demikian. (Supratiknya, 1995)
            Individu dengan gangguan ini cenderung mengalami kesulitan dalam fungsi pekerjaan apabila mereka dituntut untuk bekerja secara mandiri dan tidak disertai adanya pengawasan atau sepervisi yang intensif. (Fitria Fauziyah, …)
            Gangguan ini ditandai adanya kesukaran dalam berpisah dengan orang lain, dan interaksi sosialnya diwarnai oleh adanya kecemasan, tetapi bukan karena karena takut mendapat kritik dari lingkungan seperti halnya orang dengan gangguan avoidan melainkan karena senantiasa dirindukan, disayangi, yang pada akhirnya membuat ia harus tergantung pada orang lain.
            Teori psikoanalisa melihat gangguan ini sebagai hasil fiksasi fase oral perkembangan psikoseksual (Sutardjo A.Wiramihardja, 2007), para pengasuhnya sangat mengikuti apa yang dibutuhkan oleh penderita di masa kecil atau menuntut perilaku dependent dari penderita sebagai imbalan dari pengasuhnya. Akibatnya mereka tidak dapat mengembangkan perilaku sehat yang tidak tergantung pada pengasuhnya itu.

3.9  Obsesif-Kompulsif
            Obsesif artinya pemikiran yang berulang-ulang atau terus-menerus. Sedangkan kompulsif artinya tindakan terpaksa yang berulang atau terus menerus yang tidak efektif karena tidak dilaksanakan berdasarkan rancangan terlebih dahulu. (Sutardjo A.Wiramihardja, 2007)
            Adapun ciri-ciri dari gangguan ini (Maramis, 1980) sebagi berikut :
3.9.1        Perfeksionisme
3.9.2        Keteratura (ketertiban dan kerapian)
3.9.3        Kaku dan kurang hangat dalam pergaulan dan kehidupan
3.9.4        Pemalu
3.9.5        Pengawasan diri yang tinggi. Ada juga ciri yang lain (Sutardjo A.Wiramihardja, 2007) yaitu :
3.9.6        Perhatian yang berlebihan terhadap aturan, susunan dan juga adanya ketertarikan yang luar biasa pada detail
            Individu dengan gangguan ini cenderung bersikap serius dan tidak memiliki rasa humor. Mereka berpegang teguh pada keyakinan bahwa suatu aturan harus diikuti secara tepat dan tidak dapat diganggu gugat dengan alasan apapun. Hal tersebut yang membuat mereka tampak tidak fleksibel dan tidak dapat toleran. (Fitria Fauziyah, …)

3.10          Agresif-Pasif
            Adapun ciri-ciri dari gangguan ini (Supratiknya, 1995) sebagi berikut :
3.10.1    Tidak suka patuh pada tuntutan orang lain
3.10.2    Benci pada figur otoritas tetapi takut menyatakan atau mengungkapkannya
3.10.3    Kurang mampu untuk menunjukkan mengutarakan perasaan atau pendapat termasuk yang berbeda dengan orang lain tanpa harus melukai (tidak asertif) sehingga melalui cara penuh dendam yang tidak langsung ((Sutardjo A.Wiramihardja, 2001)
            Kepribadian ini ditandai oleh sifat pasif dan agresif (Maramis, 1980 ). Agresisifitas ini dapat dinyatakan  secara pasif dengan cara menghambat, bermuka masam, malas, dan keras kepala. Perilakunya merupakan cerminan rasa permusuhan yang tidak pernah dinyatakan secara terang-terangan atau cerminan rasa tidak puas terhadap seseorang ataupun situasi.      

DAFTAR PUSTAKA

·         W.F, Maramis. 1980. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya. AirlanggaUniversity Press

·         Supratiknya, A. 1995. Mengenal Perilaku Abnormal.  Yogyakarta. Kanisius

·         Maslim, Rusdi. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta. Nuh jaya

·         Fauziyah, Fitria. 2005. Psikologi  Abnormal Klinis Dewasa. Jakarta. UI Press

·         Wiramiharja, Sutarjo. 2007. Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung. Refika Aditama