BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Munculnya komunitas hijabers membuat trend berbusana tersendiri
yang akhirnya menjadi “happening”. Sehingga,
era berbusana para muslimah pun kini semakin modis dan
gaya dibandingkan
beberapa tahun ke belakang. Keberadaan para pemakai kerudung atau hijab mungkin
masih sangat minim, sehingga model busana muslim pun masih sangat konservatif
dan tidak
sevariatif sekarang.
Komunitas hijabers di Indonesia khususnya di Madura yang saat ini komunitasnya beranggotakan
wanita berjilbab
ini semakin bertambah anggotanya seiring
dengan meningkatnya kesadaran para wanita untuk
menggunakan jilbab.
Beberapa waktu lalu mungkin para
wanita yang menggunakan jilbab dikatakan kolot dan konservatif, tetapi sekarang
bisa lihat banyak wanita yang menggunakan jilbab dengan terlihat trendy.
Bisa di lihat sekarang banyak aneka model jilbab dan fashion
yang menggunakan jilbab tersebut. Bisa dibilang komunitas ini yang mengubah
persepsi kolot
kerudung atau jilbab menjadi jilbab up to date
dan fashionable.
Komunitas ini bisa dikatakan sebagai
yang pertama di Indonesia. Dan ini, tentunya menjadi daya
tarik tersendiri. Sehingga semakin banyak saja yang bergabung. Meskipun belum melakukan
pencacahan secara resmi terhadap anggotanya, namun di Twitter tercatat
ada 4.000 orang yang mengikuti Twitter Hijabers Community, dan
12.000 orang menjadi teman di Facebook, serta 8.000 orang sudah mengunjungi blog mereka.
(http//%20hs/9747-cantik-dangaya-bersama-hijabers-community.html).
Begitu pula dengan kota Pamekasan,
yang baru menginjak 2 tahun terbentuk sebuah komunitas Hijabers dengan nama
Hijabi Madura pertama di Madura. Dengan
anggota yang sudah tercatat 140 wanita
muslimah di kota itu. Kemunculan Hijabi Madura kemudian menjadi inspirator bagi para
muslimah di Madura untuk mendirikan komunitas hijabers juga, sehingga
terbentuk juga Hijabers Sampang, Hijabers Sumenep, Hijabers
Bangkalan (Sumber : dari Sekretaris Hijabi Madura).
Komunitas hijabers merupakan komunitas yang
menginspirasi berbagai gaya busana yang mulai digemari banyak wanita, hal
tersebut dapat dilihat kini kian banyak wanita yang tertarik untuk mulai
berhijab serta sangat peduli dengan perkembangan gaya berbusana menggunakan
hijab sehingga membuat wanita merasa puas ketika tampil modis dengan berhijab (Renni dan Desy, 2013).
Hijab menurut agama Islam adalah hal yang
wajib hukumnya bagi perempuan untuk menutupi aurat yakni rambut, dada, dan
bagian tubuh lainnya.
“Hendaklah
mereka menutupkan khumur (kerudung-nya) ke dadanya”. (QS : An Nuur :31) (Al-Quran
dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, 2002)
Tafsir dari
ayat tersebut bahwa jilbab pada masa Nabi Muhammad SAW ialah pakaian luar yang
menutupi segenap anggota badan dari kepala hingga kaki perempuan dewasa.
Terbuat dari kain dengan potongan sederhana. Serta diupayakan untuk tidak
berlebihan dalam memakai aksesoris atau perhiasan yang mengundang perhatian
orang lain.
Namun,
pada perkembangannya kini persepsi
penggunaan hijab itu sendiri tidak lagi sederhana. Hijabers
memperkenalkan gaya terbaru yang selanjutnya untuk mengubah pola pikir
perempuan berjilbab bahwa merekapun mampu tampil modis, dan stylish dan
menjadi tidak sesederhana lagi seperti konsep sebelumnya. Oleh karena itu pula,
banyak kaum hawa terinspirasi oleh komunitas hijabers.
Belakangan muncullah pelabelan, gaya berjilbab dan berbusana ala hijabers.
Toko-toko pakaian dan kerudung dengan cepat diserbu oleh banyak perempuan yang
berhasrat membeli banyak kerudung untuk dipakai dan kemudian dikreasikan dan
tampil di depan umum seperti perempuan-perempuan dalam komunitas hijabers.
Sebuah identitas baru kemudian ingin dipamerkan dari individu-individu dalam
komunitas hijabers (Hardiyanti. 2012).
Fenomena seperti itulah yang semakin menuntut komunitas hijabers
untuk berperilaku konsumtif agar mereka tetap tampil modis dan stylish.
Meskipun ada
pandangan bahwa komunitas hijabers menggeser esensi dalam berhijab sesuai syariat.
Tidak hanya itu, secara ekonomi, kebutuhan berpenampilan khas hijabers
dinilai glamor dan berlebihan, namun positifnya, komunitas ini memotivasi kaum
muslimah yang belum berhijab menjadi berhijab. Selain
itu, ada upaya membangun identitas muslimah yang aktif dan kreatif. Terbukti,
dengan ditopang oleh anggota yang memiliki ketertarikan yang sama, berbagai
kegiatan bermanfaat banyak digelar komunitas hijabers, mulai pengajian rutin, silaturahmi, kunjungan
sosial, berwirausaha, hingga beauty class, dan jilbab tutorial. Tak
mengherankan jika peminat komunitas ini semakin bertambah.
Di kalangan remaja yang memiliki
orang tua dengan kelas ekonomi yang cukup berada, terutama di kota-kota besar, mall sudah
menjadi rumah kedua. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka juga dapat mengikuti
mode yang sedang trend.
Padahal mode itu sendiri selalu berubah sehingga para remaja tidak pernah puas
dengan apa yang dimilikinya. Alhasil, muncullah perilaku yang konsumtif.
Kehidupan mewah dan cenderung berlebihan merupakan gejala-gejala
yang mengindikasikan perilaku konsumtif. Predikat konsumtif tersebut biasanya
melekat pada seseorang bila orang tersebut membeli sesuatu di luar kebutuhan
yang rasional, sebab pembelian tidak lagi didasarkan pada kebutuhan tetapi
sudah pada sudah pada taraf keinginan yang berlebihan (Utami, 2008).
Perilaku konsumtif didefinisikan
sebagai perilaku secara langsung terlibat dalam usaha memperoleh barang-barang jasa ekonomis
termasuk proses pengambilan keputusan yang mendahului dan menentukan
tindakan-tindakan tersebut (Daud, 2010). Engel (1994) menambahkan bahwa
perilaku konsumen tidak hanya melibatkan apa yang dikonsumsi seseorang tetapi
juga menyangkut dimana, seberapa sering, dan dalam kondisi seperti apa barang
dan jasa tersebut dikonsumsi.
Menurut
Sumartono (dalam Daud, 2010)
seseorang yang konsumtif mempunyai karakteristik diantaranya : membeli produk untuk menjaga status, penampilan,
dan gengsi. Memakai
sebuah produk karena adanya unsur konformitas terhadap model yang mengiklankan
produk tersebut. Adanya penilaian bahwa dengan memakai atau membeli produk
dengan harga yang mahal akan menimbulkan rasa percaya diri. Membeli produk
dengan pertimbangan harga bukan karena manfaat dan kegunaannya. Membeli karena kemasan produk yang menarik. Membeli
produk karena iming-iming hadiah. Mencoba produk sejenis dengan dua merk yang
berbeda.
Penelitian ini dilakukan pada mahasiswi yang berusia
antara 18-21 tahun, usia tersebut dapat dikategorikan sebagai remaja akhir (Mönks
dkk, 2006) yang tidak lepas dari pengaruh konsumtivisme.
Kaum remaja merupakan pembeli potensial
untuk produk seperti pakaian, sepatu dan kosmetik, sehingga mereka cenederung
mengikuti mode yang sedang beredar. Mode yang beredar itu sendiri terus berubah
dan menuntut rasa tidak puas pada konsumen yang memakainya sehingga mendorong
konsumen komunitas hijabers yang notabenenya dari kalangan remaja untuk
mengkonsumsi karena takut ketinggalan mode, sehingga muncullah perilaku
konsumtif (Tambunan, 2001)
Maulana, Ridwan (2013) juga menjelaskan di
dalam sebuah media online bahwa Remaja yang kini banyak terjebak dalam kehidupan konsumtif, dengan rela
mengeluarkan uangnya untuk menuruti segala keinginan, bukan kebutuhan, dalam
keseharianya remaja menghabiskan uang mereka untuk membeli makanan, pakaian,
perangkat elektronik, hiburan seperti menonton film dan sebagainya. Semua ini
dilakukan remaja kebanyakan hanya untuk ajang pamer dan gengsi, kita tahu
remaja merupakan fase dimana mereka masih dalam situasi labil seperti rumput
yang jika tertiup angin ia akan mengikuti kemana arah angin itu berhembus,
remaja yang dalam pergaulanya dikelilingi oleh remaja lain yang juga berprilaku
konsumtif maka ia akan mengikuti gaya, penamilan, seolah tidak mau kalah dari
temanya.
Budaya
konsumtif yang ada dalam diri manusia tentunya tidak terlepas dari watak
manusia sebagai makhluk yang hedonis dimana ras tidak puas akan sesuatu hal
akan timbul dalam diri manusia, perkembangan sosial dan teknologi dalam
masyarakat juga turut mempengaruhi di dalamnya, inilah yang akhirnya
mempercepat lahirnya watak konsumtif dan budaya (branded) khususnya
dalam diri mahasiswa sebagai salah satu golongan menengah keatas yang ada di
masyarakat, kondisi ini pun yang mengakibatkan semakin lebarnya jurang antara
si kaya dengan si miskin (Harir, Muhammad : 2010)
Perilaku konsumtif yang dilakukan oleh komunitas hijabers tidak
lepas dari lingkungan sosial remaja dan dewasa berinteraksi dengan kelompoknya,
baik itu yang di sekolah, kampus, ekstrakurikuler maupun kelompok bermain
seperti geng. Interaksi sosial maupun
hubungan antara orang perorang dengan kelompok manusia maupun sebuah proses di
mana seseorang maupun bereaksi terhadap orang lain (Soekanto,
2003). Sedangkan menurut Subiyakto (dalam Nurhayati, 2008) perilaku konsumtif
adalah seringnya konsumen membeli suatu barang atau produk demi sebuah
pengakuan, di mana secara nyata produk tersebut tidak dibutuhkan.
Kaum perempuan sesuai dengan
karakteristiknya yang selalu senang berdandan dan dipuji dibandingkan dengan kaum
laki-laki, sehingga mudah sekali kaum perempuan untuk terkondisi oleh perilaku
konsumtif. Kita tahu bahwa perempuan lebih mempunyai potensi untuk menjadi daya
tarik, perempuan lebih dituntut dan disorot masyarakat agar memiliki atribut
terpuji yaitu keindahan perempuan dikondisikan untuk selalu tampil indah dan
cantik (Kartono dalam Nurhayati, 2008). Bagi komunitas hijabers,
hal itu dapat terwujud dengan cara memakai jilbab dengan berbagai macam model
sekaligus asesorisnya.
Perilaku konsumtif yang paling mudah digambarkan adalah konsumtif
dalam hal fashion atau penampilan, yang lebih dikenal dengan kata trend.
Kata trend sendiri berarti gaya mutakhir, terkini, atau modern (KBBI, 2008).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku mengagungkan trend merupakan tindakan seseorang
yang dapat bergaya sesuai dengan apa yang sedang digandrungi saat ini.
dra. Elvi Anderiani Yusuf, M.Si.,
Psikolog, selaku Kepala Departemen
Perkembangan Fakultas Psikologi USU dan Pimpinan Aliva Konsultan mengatakan,
pada dasarnya perilaku konsumtif terjadi karena dua faktor yakni internal dan
eksternal. Faktor internal disebabkan karena faktor bawaan atau keturunan yang
membuat kontrol diri menjadi kurang baik. Sedangkan faktor eksternal terjadi
karena keluarga, teman sebaya, dan lingkungan sosial. Dijelaskannya,
faktor keluarga disebabkan karena pola asuh orang tua yang salah, faktor teman
sebaya misalnya pergaulan, dan faktor lingkungan sosial seperti passion (keinginan), proses meniru, dan
iklan produk di berbagai media (Handayani, 2013)
Menurut Hermantto (dalam Utami, 2008),
perilaku konsumtif perilaku membeli sesuatu yang bukan prioritas utama saat
pembelian dan membeli sesuatu tanpa ada pemikiran lebih lanjut tentang
manfaatnya. Perilaku membeli dan memakai jilbab yang cenderung berlapis-lapis
dengan berbagai macam kreasi serta segala macam pernak-pernik yang dipasang,
bukan karena produk tersebut memang dibutuhkan, namun dilakukan karena
alasan-alasan lain, seperti mengikuti arus mode, ingin mencoba produk baru, mengikuti
idola, ataupun untuk memperoleh pengakuan sosial dalam komunitas tersebut.
Tidak hanya jilbab dan segala asesorisnya, namun juga pada pakaian, tas dan
sepatu branded tertentu yang harganya
tinggi.
Hardiyanti (2012)
dalam penelitiannya yang berjudul “Komunitas
Jilbab Kontemporer (Hijabers) di Kota Makassar” menjelaskan dari hasil penelitian tersebut bahwa para muslimah yang tergabung dalam
komunitas Hijabers Moeslem Makassar memiliki gaya berpakaian tersendiri yang
lebih kontemporer karena jauh dari kesan kolot dan lebih stylish meski
ber-hijab. Gaya bahasa dan teks yang mereka gunakan pun punya ciri
tersendiri yakni berusaha memadukan bahasa Indonesia, bahasa Arab dan bahasa
Inggris agar terkesan keren dan mengikut zaman meski berbasis agama atau lebih
dikenal dengan bahasa gaul. Tempat menghabiskan waktu luang mereka juga menandakan
bahwa gaya hidup mereka masuk dalam kategori menengah ke atas yang ditandai
dengan budaya nongkrong di tempat-tempat yang dianggap gaul dan
menghelat kegiatan mereka di tempat-tempat berprestise tinggi. Hal ini
membentuk identitas komunitas Hijabers Moeslem
Makassar sebagai komunitas yang ekslusif, komersil dan konsumtif. Para informan
sendiri menyadari identitas mereka dan menganggap bahwa pendapat demikian wajar
karena orang-orang yang menilai mereka tidak mengenal komunitas ini lebih
dekat.
Sebuah hasil penelitian lain juga
menyebutkan bahwa gaya hidup hedonis mempengaruhi perilaku konsumtif sebesar
24,8 %, dan sisanya sebesar 75,2 % berasal dari
faktor lain yang terdiri dari kebudayaan, kelas sosial, kelompok sosial,
keluarga, pengamatan, belajar, disiplin kerja, pengetahuan, konsep diri, sikap
dan motivasi (Utami, 2008).
Kita dapat melihat dari hasil penelitian di
atas, bahwa perilaku konsumtif dipengaruhi juga oleh gaya hidup seseorang.
Sumarwan (dalam Utami 2008)
berpendapat bahwa gaya hidup menggambarkan perilaku seseorang, yaitu bagaimana
seseorang itu hidup, menggunakan uang dan memanfaatkan waktu yang dimiliki.
Gaya hidup adalah pola hidup
seseorang di dunia yang diungkap dalam kegiatan, minat, dan pendapat. Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” dalam
berinteraksi dengan lingkungannya (Kotler 2002 dalam e-jurnal.com)
Gaya hidup dan lingkungan
generasi saat ini cenderung pada hedonisme, gaya hidup glamour dan
berorientasi pada materi, hal ini terlihat dalam gaya hidup komunitas hijabers.
Hedonisme bertolak dari
angggapan bahwa manusia hendaknya hidup sedemikian rupa sehingga ia dapat
semakin bahagia (Suseno dalam Utami, 2008). Dan Susanto di dalam sumber yang
sama juga menyatakan tentang atribut gaya hidup hedonis yaitu ditunjukkan
dengan lebih senang mengisi waktu luang di tempat santai seperti café. Adanya
gaya hidup hedonis menyebabkan komunitas hijabers berusaha memperbaiki
citra dirinya dengan cara berperilaku konsumtif. Hal itu terlihat pada waktu
mengkonsumsi sebuah produk, mereka membeli sebuah produk tidak berdasarkan
kebutuhan dan fungsi melainkan berdasarkan keinginan atau gengsi di antara
sesama komunitas hijabers.
Dari uraian di atas. dapat
disimpulkan bahwa faktor eksternal yang berupa perkembangan mode yang semakin
mengikuti arus dalam hal tersebut gaya hidup sangat mempengaruhi keputusan
komunitas hijabers untuk dapat selalu mengikuti model terbaru.
Kecenderungan tersebut lambat laun menjadi suatu perilaku konsumtif dan menjadi
gaya hidup hedonis. Komuniats hijabers akan selalu memenuhi segala
kebutuhan terhadap mode dan trend meskipun harus mengeluarkan uang
berpuluh atau beratus ribu rupiah.
Berdasarkan fenomena di atas,
penulis tertarik untuk mengetahui lebih lanjut dan melakukan penelitian yang
berjudul “Hubungan Gaya Hidup Hedonis
dengan Perilaku Konsumtif pada Komunitas Hijabi Madura”
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut : Apakah ada hubungan antara gaya hidup
hedonis dengan perilaku konsumtif pada komunitas Hijabi Madura?
1.3 Tujuan
Penelitian
Untuk
mengetahui hubungan antara gaya hidup hedonis dengan perilaku konsumtif pada
komunitas Hijabi Madura
1.4 Manfaat
Penelitian
Hasil penelitian ini nanti tentunya mempunyai beberapa manfaat
antara lain adalah :
a.
Dari
segi teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan khazanah keilmuan psikologi khususnya bagi psikologi
sosial dan psikologi konsumen serta dapat memberi gambaran mengenai hubungan
antara gaya hidup hedonis dengan perilaku konsumtif pada komunitas Hijabi
Madura
b.
Dari
segi praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan
informasi khususnya kepada komunitas Hijabi
Madura dan pada masyarakat umum yang bukan termasuk komunitas Hijabi Madura, berhubungan
dengan perilaku konsumtif dan gaya hidup hedonis yang dimiliki untuk menekan dan
mengontrol perilaku konsumtif tersebut dengan cara mempertimbangkan prioritas,
faktor kebutuhan dan bukan berdasarkan faktor keinginan serta gengsi semata, sehingga komunitas Hijabi
Madura dalam membeli suatu produk tidak berorientasi pada trend dan mode
semata yang menonjolkan keglamouran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar