Selasa, 08 Juli 2014

bab 1


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Munculnya komunitas hijabers membuat trend berbusana tersendiri yang akhirnya menjadi “happening”. Sehingga, era berbusana para muslimah pun kini semakin modis dan gaya dibandingkan beberapa tahun ke belakang. Keberadaan para pemakai kerudung atau hijab mungkin masih sangat minim, sehingga model busana muslim pun masih sangat konservatif dan tidak sevariatif sekarang.
Komunitas hijabers di Indonesia khususnya di Madura yang saat ini komunitasnya beranggotakan wanita berjilbab ini semakin bertambah anggotanya seiring dengan meningkatnya kesadaran para wanita untuk menggunakan jilbab.
Beberapa waktu lalu mungkin para wanita yang menggunakan jilbab dikatakan kolot dan konservatif, tetapi sekarang bisa lihat banyak wanita yang menggunakan jilbab dengan terlihat trendy. Bisa di lihat sekarang banyak aneka model jilbab dan fashion yang menggunakan jilbab tersebut. Bisa dibilang komunitas ini yang mengubah persepsi kolot kerudung atau jilbab menjadi jilbab up to date dan fashionable.
Komunitas ini bisa dikatakan sebagai yang pertama di Indonesia. Dan ini, tentunya menjadi daya tarik tersendiri. Sehingga semakin banyak saja yang bergabung. Meskipun belum melakukan pencacahan secara resmi terhadap anggotanya, namun di Twitter tercatat ada 4.000 orang yang mengikuti Twitter Hijabers Community, dan 12.000 orang menjadi teman di Facebook, serta 8.000 orang sudah mengunjungi blog mereka. (http//%20hs/9747-cantik-dangaya-bersama-hijabers-community.html).
 Begitu pula dengan kota Pamekasan, yang baru menginjak 2 tahun terbentuk sebuah komunitas Hijabers dengan nama Hijabi Madura  pertama di Madura. Dengan anggota yang sudah tercatat 140 wanita muslimah di kota itu. Kemunculan Hijabi Madura kemudian menjadi inspirator bagi para muslimah di Madura untuk mendirikan komunitas hijabers juga, sehingga terbentuk juga Hijabers Sampang, Hijabers Sumenep, Hijabers Bangkalan (Sumber : dari Sekretaris Hijabi Madura).
Komunitas hijabers merupakan komunitas yang menginspirasi berbagai gaya busana yang mulai digemari banyak wanita, hal tersebut dapat dilihat kini kian banyak wanita yang tertarik untuk mulai berhijab serta sangat peduli dengan perkembangan gaya berbusana menggunakan hijab sehingga membuat wanita merasa puas ketika tampil modis dengan berhijab (Renni dan Desy, 2013).
Hijab menurut agama Islam adalah hal yang wajib hukumnya bagi perempuan untuk menutupi aurat yakni rambut, dada, dan bagian tubuh lainnya.
  Hendaklah mereka menutupkan khumur (kerudung-nya) ke dadanya”. (QS : An Nuur :31) (Al-Quran dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, 2002)
               Tafsir dari ayat tersebut bahwa jilbab pada masa Nabi Muhammad SAW ialah pakaian luar yang menutupi segenap anggota badan dari kepala hingga kaki perempuan dewasa. Terbuat dari kain dengan potongan sederhana. Serta diupayakan untuk tidak berlebihan dalam memakai aksesoris atau perhiasan yang mengundang perhatian orang lain.
               Namun, pada perkembangannya kini persepsi penggunaan hijab itu sendiri tidak lagi sederhana. Hijabers memperkenalkan gaya terbaru yang selanjutnya untuk mengubah pola pikir perempuan berjilbab bahwa merekapun mampu tampil modis, dan stylish dan menjadi tidak sesederhana lagi seperti konsep sebelumnya. Oleh karena itu pula, banyak kaum hawa terinspirasi oleh komunitas hijabers. Belakangan muncullah pelabelan, gaya berjilbab dan berbusana ala hijabers. Toko-toko pakaian dan kerudung dengan cepat diserbu oleh banyak perempuan yang berhasrat membeli banyak kerudung untuk dipakai dan kemudian dikreasikan dan tampil di depan umum seperti perempuan-perempuan dalam komunitas hijabers. Sebuah identitas baru kemudian ingin dipamerkan dari individu-individu dalam komunitas hijabers (Hardiyanti. 2012).
Fenomena seperti itulah yang semakin menuntut komunitas hijabers untuk berperilaku konsumtif agar mereka tetap tampil modis dan stylish.
Meskipun ada pandangan bahwa komunitas hijabers menggeser esensi dalam berhijab sesuai syariat. Tidak hanya itu, secara ekonomi, kebutuhan berpenampilan khas hijabers dinilai glamor dan berlebihan, namun positifnya, komunitas ini memotivasi kaum muslimah yang belum berhijab menjadi berhijab. Selain itu, ada upaya membangun identitas muslimah yang aktif dan kreatif. Terbukti, dengan ditopang oleh anggota yang memiliki ketertarikan yang sama, berbagai kegiatan bermanfaat banyak digelar komunitas hijabers, mulai pengajian rutin, silaturahmi, kunjungan sosial, berwirausaha, hingga beauty class, dan jilbab tutorial. Tak mengherankan jika peminat komunitas ini semakin bertambah. 
               Di kalangan remaja yang memiliki orang tua dengan kelas ekonomi yang cukup berada, terutama di kota-kota besar, mall sudah menjadi rumah kedua. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka juga dapat mengikuti mode yang sedang trend. Padahal mode itu sendiri selalu berubah sehingga para remaja tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Alhasil, muncullah perilaku yang konsumtif.
   Kehidupan mewah dan cenderung berlebihan merupakan gejala-gejala yang mengindikasikan perilaku konsumtif. Predikat konsumtif tersebut biasanya melekat pada seseorang bila orang tersebut membeli sesuatu di luar kebutuhan yang rasional, sebab pembelian tidak lagi didasarkan pada kebutuhan tetapi sudah pada sudah pada taraf keinginan yang berlebihan (Utami, 2008).
               Perilaku konsumtif didefinisikan sebagai perilaku secara langsung terlibat dalam usaha memperoleh barang-barang jasa ekonomis termasuk proses pengambilan keputusan yang mendahului dan menentukan tindakan-tindakan tersebut (Daud, 2010). Engel (1994) menambahkan bahwa perilaku konsumen tidak hanya melibatkan apa yang dikonsumsi seseorang tetapi juga menyangkut dimana, seberapa sering, dan dalam kondisi seperti apa barang dan jasa tersebut dikonsumsi.
          Menurut Sumartono (dalam Daud, 2010) seseorang yang konsumtif mempunyai karakteristik diantaranya : membeli produk untuk menjaga status, penampilan, dan gengsi. Memakai sebuah produk karena adanya unsur konformitas terhadap model yang mengiklankan produk tersebut. Adanya penilaian bahwa dengan memakai atau membeli produk dengan harga yang mahal akan menimbulkan rasa percaya diri. Membeli produk dengan pertimbangan harga bukan karena manfaat dan kegunaannya. Membeli karena kemasan produk yang menarik. Membeli produk karena iming-iming hadiah. Mencoba produk sejenis dengan dua merk yang berbeda.
Penelitian ini dilakukan pada mahasiswi yang berusia antara 18-21 tahun, usia tersebut dapat dikategorikan sebagai remaja akhir (Mönks dkk, 2006) yang tidak lepas dari pengaruh konsumtivisme.                 
Kaum remaja merupakan pembeli potensial untuk produk seperti pakaian, sepatu dan kosmetik, sehingga mereka cenederung mengikuti mode yang sedang beredar. Mode yang beredar itu sendiri terus berubah dan menuntut rasa tidak puas pada konsumen yang memakainya sehingga mendorong konsumen komunitas hijabers yang notabenenya dari kalangan remaja untuk mengkonsumsi karena takut ketinggalan mode, sehingga muncullah perilaku konsumtif (Tambunan, 2001)
                Maulana, Ridwan (2013) juga menjelaskan di dalam sebuah media online bahwa Remaja yang kini banyak terjebak dalam kehidupan konsumtif, dengan rela mengeluarkan uangnya untuk menuruti segala keinginan, bukan kebutuhan, dalam keseharianya remaja menghabiskan uang mereka untuk membeli makanan, pakaian, perangkat elektronik, hiburan seperti menonton film dan sebagainya. Semua ini dilakukan remaja kebanyakan hanya untuk ajang pamer dan gengsi, kita tahu remaja merupakan fase dimana mereka masih dalam situasi labil seperti rumput yang jika tertiup angin ia akan mengikuti kemana arah angin itu berhembus, remaja yang dalam pergaulanya dikelilingi oleh remaja lain yang juga berprilaku konsumtif maka ia akan mengikuti gaya, penamilan, seolah tidak mau kalah dari temanya.
Budaya konsumtif yang ada dalam diri manusia tentunya tidak terlepas dari watak manusia sebagai makhluk yang hedonis dimana ras tidak puas akan sesuatu hal akan timbul dalam diri manusia, perkembangan sosial dan teknologi dalam masyarakat juga turut mempengaruhi di dalamnya, inilah yang akhirnya mempercepat lahirnya watak konsumtif dan budaya (branded) khususnya dalam diri mahasiswa sebagai salah satu golongan menengah keatas yang ada di masyarakat, kondisi ini pun yang mengakibatkan semakin lebarnya jurang antara si kaya dengan si miskin (Harir, Muhammad : 2010)
              Perilaku konsumtif yang dilakukan oleh komunitas hijabers tidak lepas dari lingkungan sosial remaja dan dewasa berinteraksi dengan kelompoknya, baik itu yang di sekolah, kampus, ekstrakurikuler maupun kelompok bermain seperti geng. Interaksi sosial maupun hubungan antara orang perorang dengan kelompok manusia maupun sebuah proses di mana seseorang maupun bereaksi terhadap orang lain (Soekanto, 2003). Sedangkan menurut Subiyakto (dalam Nurhayati, 2008) perilaku konsumtif adalah seringnya konsumen membeli suatu barang atau produk demi sebuah pengakuan, di mana secara nyata produk tersebut tidak dibutuhkan.
               Kaum perempuan sesuai dengan karakteristiknya yang selalu senang berdandan dan dipuji dibandingkan dengan kaum laki-laki, sehingga mudah sekali kaum perempuan untuk terkondisi oleh perilaku konsumtif. Kita tahu bahwa perempuan lebih mempunyai potensi untuk menjadi daya tarik, perempuan lebih dituntut dan disorot masyarakat agar memiliki atribut terpuji yaitu keindahan perempuan dikondisikan untuk selalu tampil indah dan cantik (Kartono dalam Nurhayati, 2008). Bagi komunitas hijabers, hal itu dapat terwujud dengan cara memakai jilbab dengan berbagai macam model sekaligus asesorisnya.
               Perilaku konsumtif yang paling mudah digambarkan adalah konsumtif dalam hal fashion atau penampilan, yang lebih dikenal dengan kata trend. Kata trend sendiri berarti gaya mutakhir, terkini, atau modern (KBBI, 2008). Sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku mengagungkan trend merupakan tindakan seseorang yang dapat bergaya sesuai dengan apa yang sedang digandrungi saat ini. 
               dra. Elvi Anderiani Yusuf, M.Si., Psikolog, selaku  Kepala Departemen Perkembangan Fakultas Psikologi USU dan Pimpinan Aliva Konsultan mengatakan, pada dasarnya perilaku konsumtif terjadi karena dua faktor yakni internal dan eksternal. Faktor internal disebabkan karena faktor bawaan atau keturunan yang membuat kontrol diri menjadi kurang baik. Sedangkan faktor eksternal terjadi karena keluarga,  teman sebaya, dan lingkungan sosial. Dijelaskannya, faktor keluarga disebabkan karena pola asuh orang tua yang salah, faktor teman sebaya misalnya pergaulan, dan faktor lingkungan sosial seperti passion (keinginan), proses meniru, dan iklan produk di berbagai media (Handayani, 2013)
               Menurut Hermantto (dalam Utami, 2008), perilaku konsumtif perilaku membeli sesuatu yang bukan prioritas utama saat pembelian dan membeli sesuatu tanpa ada pemikiran lebih lanjut tentang manfaatnya. Perilaku membeli dan memakai jilbab yang cenderung berlapis-lapis dengan berbagai macam kreasi serta segala macam pernak-pernik yang dipasang, bukan karena produk tersebut memang dibutuhkan, namun dilakukan karena alasan-alasan lain, seperti mengikuti arus mode, ingin mencoba produk baru, mengikuti idola, ataupun untuk memperoleh pengakuan sosial dalam komunitas tersebut. Tidak hanya jilbab dan segala asesorisnya, namun juga pada pakaian, tas dan sepatu branded tertentu yang harganya tinggi.
              Hardiyanti (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Komunitas Jilbab Kontemporer (Hijabers) di Kota Makassar” menjelaskan dari hasil penelitian tersebut bahwa para muslimah yang tergabung dalam komunitas Hijabers Moeslem Makassar memiliki gaya berpakaian tersendiri yang lebih kontemporer karena jauh dari kesan kolot dan lebih stylish meski ber-hijab. Gaya bahasa dan teks yang mereka gunakan pun punya ciri tersendiri yakni berusaha memadukan bahasa Indonesia, bahasa Arab dan bahasa Inggris agar terkesan keren dan mengikut zaman meski berbasis agama atau lebih dikenal dengan bahasa gaul. Tempat menghabiskan waktu luang mereka juga menandakan bahwa gaya hidup mereka masuk dalam kategori menengah ke atas yang ditandai dengan budaya nongkrong di tempat-tempat yang dianggap gaul dan menghelat kegiatan mereka di tempat-tempat berprestise tinggi. Hal ini membentuk identitas komunitas Hijabers Moeslem Makassar sebagai komunitas yang ekslusif, komersil dan konsumtif. Para informan sendiri menyadari identitas mereka dan menganggap bahwa pendapat demikian wajar karena orang-orang yang menilai mereka tidak mengenal komunitas ini lebih dekat.
               Sebuah hasil penelitian lain juga menyebutkan bahwa gaya hidup hedonis mempengaruhi perilaku konsumtif sebesar 24,8 %, dan sisanya sebesar 75,2 % berasal dari  faktor lain yang terdiri dari kebudayaan, kelas sosial, kelompok sosial, keluarga, pengamatan, belajar, disiplin kerja, pengetahuan, konsep diri, sikap dan motivasi (Utami, 2008).
               Kita dapat melihat dari hasil penelitian di atas, bahwa perilaku konsumtif dipengaruhi juga oleh gaya hidup seseorang.
               Sumarwan (dalam Utami 2008) berpendapat bahwa gaya hidup menggambarkan perilaku seseorang, yaitu bagaimana seseorang itu hidup, menggunakan uang dan memanfaatkan waktu yang dimiliki.
               Gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang diungkap dalam kegiatan, minat, dan pendapat. Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” dalam berinteraksi dengan lingkungannya (Kotler 2002 dalam e-jurnal.com)
                Gaya hidup dan lingkungan generasi saat ini cenderung pada hedonisme, gaya hidup glamour dan berorientasi pada materi, hal ini terlihat dalam gaya hidup komunitas hijabers.
               Hedonisme bertolak dari angggapan bahwa manusia hendaknya hidup sedemikian rupa sehingga ia dapat semakin bahagia (Suseno dalam Utami, 2008). Dan Susanto di dalam sumber yang sama juga menyatakan tentang atribut gaya hidup hedonis yaitu ditunjukkan dengan lebih senang mengisi waktu luang di tempat santai seperti café. Adanya gaya hidup hedonis menyebabkan komunitas hijabers berusaha memperbaiki citra dirinya dengan cara berperilaku konsumtif. Hal itu terlihat pada waktu mengkonsumsi sebuah produk, mereka membeli sebuah produk tidak berdasarkan kebutuhan dan fungsi melainkan berdasarkan keinginan atau gengsi di antara sesama komunitas hijabers.
               Dari uraian di atas. dapat disimpulkan bahwa faktor eksternal yang berupa perkembangan mode yang semakin mengikuti arus dalam hal tersebut gaya hidup sangat mempengaruhi keputusan komunitas hijabers untuk dapat selalu mengikuti model terbaru. Kecenderungan tersebut lambat laun menjadi suatu perilaku konsumtif dan menjadi gaya hidup hedonis. Komuniats hijabers akan selalu memenuhi segala kebutuhan terhadap mode dan trend meskipun harus mengeluarkan uang berpuluh atau beratus ribu rupiah.
               Berdasarkan fenomena di atas, penulis tertarik untuk mengetahui lebih lanjut dan melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan  Gaya Hidup Hedonis dengan Perilaku Konsumtif pada Komunitas Hijabi Madura”

1.2  Rumusan Masalah
               Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : Apakah ada hubungan antara gaya hidup hedonis dengan perilaku konsumtif pada komunitas Hijabi Madura?

1.3  Tujuan Penelitian
               Untuk mengetahui hubungan antara gaya hidup hedonis dengan perilaku konsumtif pada komunitas Hijabi Madura

1.4  Manfaat Penelitian
               Hasil penelitian ini nanti tentunya mempunyai beberapa manfaat antara lain adalah :
a.    Dari segi teoritis
               Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan khazanah keilmuan psikologi khususnya bagi psikologi sosial dan psikologi konsumen serta dapat memberi gambaran mengenai hubungan antara gaya hidup hedonis dengan perilaku konsumtif pada komunitas Hijabi Madura
b.    Dari segi praktis
            Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan informasi khususnya kepada komunitas  Hijabi Madura dan pada masyarakat umum yang bukan termasuk komunitas Hijabi Madura, berhubungan dengan perilaku konsumtif dan gaya hidup hedonis yang dimiliki untuk menekan dan mengontrol perilaku konsumtif tersebut dengan cara mempertimbangkan prioritas, faktor kebutuhan dan bukan berdasarkan faktor keinginan serta  gengsi semata, sehingga komunitas Hijabi Madura dalam membeli suatu produk tidak berorientasi pada trend dan mode semata yang menonjolkan keglamouran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar